Selasa, 23 Februari 2016

FISIKA BANGUNAN 2: RTH Pengendali Iklim Mikro

Tema: Ruang Terbuka Hijau Kaitannya dengan Perbaikan Thermal


RUANG TERBUKA HIJAU PENGENDALI IKLIM MIKRO

1.1   Pengertian Ruang Terbuka Hijau
Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut.
Secara fisik RTH dapat dibedakan menjadi RTH alami yang berupa habitat liar alami,
kawasan lindung dan taman-taman nasional, maupun RTH non-alami atau binaan yang
seperti taman, lapangan olah raga, dan kebun bunga. Status kepemilikan RTH diklasifikasikan menjadi (a) RTH publik, yaitu RTH yang berlokasi pada lahan-lahan publik atau lahan yang dimiliki oleh peme-rintah (pusat, daerah), dan (b) RTH privat atau non publik, yaitu RTH yang berlokasi pada lahan-lahan milik privat.

Dari segi fungsi RTH dapat berfungsi secara ekologis, sosial/budaya, arsitektural, dan
ekonomi. Secara ekologis RTH dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir,
mengurangi polusi udara, dan menurunkan temperatur kota. Secara arsitektural RTH dapat meningkatkan nilai keindahan dan kenyamanan kota melalui keberadaan taman-taman kota, kebun-kebun bunga, dan jalur-jalur hijau di jalan-jalan kota. Sementara itu RTH juga dapat memiliki fungsi ekonomi, baik secara langsung seperti pengusahaan lahan-lahan kosong menjadi lahan pertanian/ perkebunan (urban agriculture) dan pengembangan sarana wisata hijau perkotaan yang dapat mendatangkan wisatawan.

2.2 Masalah Perkotaan Serta Dampaknya
Masalah perkotaan pada saat ini telah menjadi masalah yang cukup pelik untuk diatasi. Perkembangan perkotaan membawa pada konsekuensi negatif pada beberapa aspek, termasuk aspek lingkungan. Perkembangan kota membutuhkan ruang sebagai tempat hidup penduduk dengan aktivitasnya. Pertambahan jumlah penduduk kota berarti juga peningkatan kebutuhan ruang. Karena ruang tidak dapat bertambah, maka yang terjadi adalah perubahan penggunaan lahan, yang cenderung menurunkan proporsi lahan-lahan yang sebelumnya merupakan ruang terbuka hijau. Pada saat ini hanya 1,2% lahan di dunia merupakan kawasan perkotaan, namun coverage spasial dan densitas kota-kota diperkirakan akan terus meningkat di masa yang akan datang. PBB telah melakukan estimasi dan menyatakan bahwa pada tahun 2025, sekitar 60% populasi dunia akan tinggal di kota-kota.

Pada saat ini telah diakui bahwa iklim perkotaan memiliki karakteristik yang berbeda dengan iklim kawasan di sekitarnya yang masih memiliki unsur-unsur alami cukup banyak. Perubahan unsur-unsur lingkungan dari yang alami menjadi unsur buatan menyebabkan terjadinya perubahan karakteristik iklim mikro. Berbagai aktivitas manusia di perkotaan, seperti kegiatan industri dan transportasi, mengubah komposisi atmosfer yang berdampak pada perubahan komponen siklus air, siklus karbon dan perubahan ekosistem. Selain itu, polusi udara di perkotaan menyebabkan perubahan visibilitas dan daya serap atmosfer terhadap radiasi matahari. Radiasi matahari itu sendiri merupakan salah satu faktor utama yang menentukan karakteristik iklim di suatu daerah.
Perubahan-perubahan tersebut sangat penting untuk menjadi bahan pertimbangan dalam perancangan dan perencanaan kota. Namun di sisi lain, pemahaman mengenai urbanisasi dan dampaknya pada sistem iklim-bumi belum lengkap. Dan dalam sistem perencanaan pembangunan perkotaan di Indonesia, unsur iklim masih dianggap sebagai elemen statis, dimana diasumsikan tidak ada interaksi timbal balik antara iklim dengan perubahan guna lahan. Data-data iklim lebih sering dipergunakan sebagai data yang mendukung pernyataan kesesuian lahan dan lokasi bagi pengembangan fungsi sebuah kawasan, terutama untuk pengembangan kawasan pertanian. Namun dalam perancangan dan perencanaan kawasan perkotaan di Indonesia, hampir tidak pernah dipertimbangkan bahwa perubahan guna lahan yang direncanakan akan memberikan implikasi yang sangat besar terhadap sistem iklim.

3.3 Karakteristik Iklim Perkotaan
Iklim perkotaan merupakan hasil dari interaksi banyak faktor alami dan antropogenik. Polusi udara, material permukaan perkotaan, emisi panas anthropogenik, bersama-sama dengan faktor alam menyebabkan perbedaan iklim antara kota dan area non perkotaan.
Iklim suatu kota dikendalikan oleh banyak faktor alam, baik pada skala makro (seperti. Garis lintang) maupun pada skala meso (seperti topografi, badan air). Pada kota yang tumbuh dan berkembang, faktor-faktor baru dapat mengubah iklim lokal kota. Guna lahan, jumlah penduduk, aktivitas industri dan transportasi, serta ukuran dan struktur kota, adalah faktor-faktor yang terus berkembang dan mempengaruhi iklim perkotaan.
Dalam tahap awal perkembangan kota, sebagian besar lahan merupakan ruang terbuka hijau. Namun, adanya kebutuhan ruang untuk menampung penduduk dan aktivitasnya, ruang hijau tersebut cenderung mengalami konversi guna lahan menjadi kawasan terbangun. Sebagian besar permukaannya, terutama di pusat kota, tertutup oleh jalan, bangunan dan lain-lain dengan karakter yang sangat kompleks dan berbeda dengan karakter ruang terbuka hijau.
Polusi udara yang tinggi adalah faktor lain yang menjadi ciri kawasan perkotaan. Polusi udara perkotaan terdiri dari gas dan partikel/unsur/butir padat yang diemisi oleh industri, transportasi, sistem pemanas dan lain lain. Polusi udara yang teremisi, merubah komposisi atmosfir perkotaan, menurunkan transmissivitas dan meningkatkan daya serap terhadap radiasi matahari. Dengan kata lain, polusi udara menyerap cahaya matahari dan visibilitas udara menurun, sehingga lebih sedikit radiasi matahari yang menjangkau permukaan tanah.
Pada umumnya pusat kota lebih terpolusi dibanding bagian pinggir kota, tetapi hal tersebut tergantung pada sebaran lokasi industri dan intensitas penggunaan jalan-jalan. Pada siang hari, konsentrasi polusi udara tertinggi cenderung terjadi pada jam-jam puncak, yaitu pada kondisi dimana arus lalu lintas yang terjadi sangat tinggi. Dalam rentang waktu satu tahun, di negara-negara subtropis, konsentrasi polutan tertinggi cenderung terjadi pada waktu musim dingin ketika banyak polusi udara berbahaya dipancarkan karena konsumsi berbagai macam bahan bakar, untuk memanaskan bangunan, dan ketika atmosfir dalam keadaan paling stabil yang memperkecil kemungkinan udara untuk bercampur. Namun, pada musim panas, kabut photochemical tidak jarang pula terbentuk.
Dalam sebuah kota, evaporasi dapat berkurang secara signifikan karena permukaan artifisial tidak menyerap air sebagaimana halnya permukaan alami. Lebih dari itu, selama musim hujan, air mengalami run off dengan cepat ke dalam sistem drainase kota dan permukaan di perkotaan menjadi cepat kering. Karena air di atas permukaan tanah jumlahnya sedikit, panas yang ada tidak digunakan untuk evaporasi, melainkan digunakan untuk memanaskan atmosfer kota. Penting untuk disadari bahwa kondisi vegetasi di suatu daerah atau kawasan, sangat berpengaruh terhadap suhu udara.

4.4 Perubahan Iklim Global
Perubahan iklim pada abad ini telah menjadi isu lingkungan yang cukup penting. Berbagai penelitian dilakukan untuk dapat mengidentifikasi berbagai penyebab terjadinya perubahan iklim. Penelitian-penelitian lainnya mengarah pada identifikasi strategi mitigasi bencana perubahan iklim. Berbagai perubahan dan konsekuensi yang terukur sangat diperlukan untuk dapat melakukan respon dan adaptasi yang tepat terhadap perubahan iklim, terutama adaptasi yang dapat dilakukan di kawasan perkotaan. Hal penting lainnya yang diperlukan adalah eksplorasi pengetahuan mengenai bagaimana pembangunan kota-kota baru dapat memenuhi kriteria untuk mitigasi dan tujuan-tujuan adaptasi.

5.5 Peranan Ruang Terbuka Hijau dalam Penentuan Iklim Mikro Perkotaan
Tingginya tingkat pembangunan di daerah perkotaan, seringkali mengabaikan unsur-unsur alami seperti vegetasi. Padahal dalam beberapa penelitian ditemukan bahwa vegetasi memiliki manfaat dan nilai untuk mempertahankan tingkat kenyamanan udara. Dalam hal ini, sangat penting untuk mempertimbangkan kebutuhan ruang hijau di perkotaan. Pembangunan fisik kota itu sendiri mempengaruhi ketersediaan ruang untuk vegetasi dan distribusinya.
Hasil analisis yang dilakukan dalam beberapa penelitian mengungkapkan adanya dampak dampak-dampak menguntungkan dari ruang hijau perkotaan pada iklim mikro, kualitas udara, reduksi konsumsi energi pada gedung-gedung yang berdekatan, penyimpanan karbon, dan juga memperkaya biodiversity. Telah diakui pula bahwa terdapat keuntungan sosial ekonomi yang dapat diperoleh dari ruang hijau perkotaan, dan kontribusinya pada perbaikan kesehatan manusia.
Telah diketahui bagaimana perubahan iklim dapat mempengaruhi fungsi dan struktur ruang hijau, yang mana hal tersebut pada akhirnya berdampak pada lingkungan perkotaan. Pengetahuan mengenai hal ini menjadi penting untuk memberikan respon terhadap pengaruh-pengaruh perubahan iklim dengan strategi yang adaptif melalui manajemen, perancangan dan perencanaan ruang hijau perkotaan.
Beberapa peranan ruang hijau di perkotaan yang berhubungan dengan kualitas udara antara lain :
•    Penahan dan Penyaring Partikel Padat dari Udara
•    Penyerap dan Penjerap Partikel Timbal
•    Penyerap dan Penjerap Debu Semen
•    Peredam Kebisingan
•    Mengurangi Bahaya Hujan Asam
•    Penyerap Karbon-monoksida
•    Penyerap Karbon-dioksida dan Penghasil Oksigen
•    Penahan Angin
•    Penyerap dan Penapis Bau
•    Mengatasi Penggenangan
•    Ameliorasi Iklim
•    Penapis Cahaya Silau

Adapun pencegahan dari iklim perkotaan tersebut antara lain adalah sistem penghijauan perkotaan.
Penghijauan perkotaan yaitu menanam tumbuh-tumbuhan sebanyak-banyaknya di halaman rumah atau di lingkungan sekitar rumah maupun dipinggir jalan, apakah itu berbentuk pohon, semak, perdu, rumput atau penutup tanah lainnya, di setiap jengkal tanah yang kosong yang ada dalam kota dan sekitarnya, sering disebut sebagai ruang terbuka hijau (RTH). RTH sangat penting, mengingat tumbuh-tumbuhan mempunyai peranan sangat penting dalam alam, yaitu dapat dikategorikan menjadi fungsi lansekap (sosial dan fisik), fungsi lingkungan (ekologi) dan fungsi estetika (keindahan).
Berdasarkan kepada fungsi utama RTH dapat dibagi menjadi:
1. Pertanian perkotaan, fungsi utamanya adalah untuk mendapatkan hasilnya untuk konsumsi yang
disebut dengan hasil pertanian kota seperti hasil hortikultura.
2. Taman kota, mempunyai fungsi utama untuk keindahan dan interaksi sosial
3. Hutan kota, mempunyai fungsi utama untuk peningkatan kualitas lingkungan.
Menurut pakar tata lingkungan Prof. Eko Budihardjo (1997) keberadaan ruang terbuka hijau seluas kurang lebih 30 ha. yang dipenuhi pepohonan dapat menurunkan suhu lingkungan kurang lebih 2,5oC. Sementara itu Heinz Frick (2002) bahkan mengemukakan lahan dengan tanam-tanaman seluas 1 ha. Dapat memberikan efek penurunan suhu hingga 4oC. Dapat dimengerti bahwa lahan yang ditumbuhi pepohonan rindang memberi efek kanopi yang menahan radiasi panas matahari sebelum mencapai objek yang diteduhinya. Dedaunan yang berwarna hijau gelap menyerap panas radiasi matahari yang biasanya terpantulkan oleh objek lain (Todd, 1995).

Penelitian yang dilakukan oleh Lipsmeiter menunjukkan bahwa suhu diatas permukaan rumput bisa mencapai 5o C lebih rendah dibandingkan suhu permukaan yang diperkeras beton, sementara Todd (1995) menyebutkan perbedaan suhu 8o C antara permukaan tanah terbuka dengan permukaan berumput. Diketahui pula bersama bahwa manusia hidup nyaman dalam suhu yang sangat tertentu, berkisar antara 10o C hingga 27o C, dengan kelembaban antara 40% – 75% (Laurie, 1994). Untuk suhu kerja, lebih terbatas lagi antara 18o C h i n g ga 25o C (Mangunwi jaya, 1980). Dengan membandingkan contoh Kota Semarang misalnya, yang suhunya berkisar antara 27o C - 35o C (Budihardjo, 1997), atau Jakarta yang pernah mencapai 37o C dengan kelembaban 98% dapat disimpulkan bahwa akumulasi ruang terbuka hijau yang tinggi dapat berperan secara signifikan dalam pengontrolan suhu lingkungan yang nyaman bagi penghuni.






Referensi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar