Tema: Ruang Terbuka Hijau Kaitannya dengan
Perbaikan Thermal
RUANG
TERBUKA HIJAU PENGENDALI IKLIM MIKRO
1.1 Pengertian Ruang Terbuka
Hijau
Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota adalah bagian
dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang
diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung
manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota
tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah
perkotaan tersebut.
Secara fisik RTH dapat dibedakan
menjadi RTH alami yang berupa habitat liar alami,
kawasan lindung dan taman-taman
nasional, maupun RTH non-alami atau binaan yang
seperti taman, lapangan olah raga, dan kebun bunga. Status
kepemilikan RTH diklasifikasikan menjadi (a) RTH publik, yaitu RTH yang
berlokasi pada lahan-lahan publik atau lahan yang dimiliki oleh peme-rintah
(pusat, daerah), dan (b) RTH privat atau non publik, yaitu RTH yang berlokasi
pada lahan-lahan milik privat.
Dari segi fungsi RTH dapat
berfungsi secara ekologis, sosial/budaya, arsitektural, dan
ekonomi. Secara ekologis RTH
dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir,
mengurangi polusi udara, dan
menurunkan temperatur kota. Secara arsitektural RTH dapat meningkatkan nilai
keindahan dan kenyamanan kota melalui keberadaan taman-taman kota, kebun-kebun
bunga, dan jalur-jalur hijau di jalan-jalan kota. Sementara itu RTH juga dapat
memiliki fungsi ekonomi, baik secara langsung seperti pengusahaan lahan-lahan kosong
menjadi lahan pertanian/ perkebunan (urban agriculture) dan
pengembangan sarana wisata hijau perkotaan yang dapat mendatangkan wisatawan.
2.2
Masalah Perkotaan Serta Dampaknya
Masalah perkotaan pada saat ini telah menjadi
masalah yang cukup pelik untuk diatasi. Perkembangan perkotaan membawa pada
konsekuensi negatif pada beberapa aspek, termasuk aspek lingkungan.
Perkembangan kota membutuhkan ruang sebagai tempat hidup penduduk dengan
aktivitasnya. Pertambahan jumlah penduduk kota berarti juga peningkatan
kebutuhan ruang. Karena ruang tidak dapat bertambah, maka yang terjadi adalah
perubahan penggunaan lahan, yang cenderung menurunkan proporsi lahan-lahan yang
sebelumnya merupakan ruang terbuka hijau. Pada saat ini hanya 1,2% lahan di
dunia merupakan kawasan perkotaan, namun coverage spasial dan densitas
kota-kota diperkirakan akan terus meningkat di masa yang akan datang. PBB telah
melakukan estimasi dan menyatakan bahwa pada tahun 2025, sekitar 60% populasi
dunia akan tinggal di kota-kota.
Pada saat ini telah diakui bahwa iklim perkotaan memiliki karakteristik yang berbeda dengan iklim kawasan di sekitarnya yang masih memiliki unsur-unsur alami cukup banyak. Perubahan unsur-unsur lingkungan dari yang alami menjadi unsur buatan menyebabkan terjadinya perubahan karakteristik iklim mikro. Berbagai aktivitas manusia di perkotaan, seperti kegiatan industri dan transportasi, mengubah komposisi atmosfer yang berdampak pada perubahan komponen siklus air, siklus karbon dan perubahan ekosistem. Selain itu, polusi udara di perkotaan menyebabkan perubahan visibilitas dan daya serap atmosfer terhadap radiasi matahari. Radiasi matahari itu sendiri merupakan salah satu faktor utama yang menentukan karakteristik iklim di suatu daerah.
Perubahan-perubahan tersebut sangat penting
untuk menjadi bahan pertimbangan dalam perancangan dan perencanaan kota. Namun
di sisi lain, pemahaman mengenai urbanisasi dan dampaknya pada sistem
iklim-bumi belum lengkap. Dan dalam sistem perencanaan pembangunan perkotaan di
Indonesia, unsur iklim masih dianggap sebagai elemen statis, dimana diasumsikan
tidak ada interaksi timbal balik antara iklim dengan perubahan guna lahan.
Data-data iklim lebih sering dipergunakan sebagai data yang mendukung
pernyataan kesesuian lahan dan lokasi bagi pengembangan fungsi sebuah kawasan,
terutama untuk pengembangan kawasan pertanian. Namun dalam perancangan dan
perencanaan kawasan perkotaan di Indonesia, hampir tidak pernah dipertimbangkan
bahwa perubahan guna lahan yang direncanakan akan memberikan implikasi yang
sangat besar terhadap sistem iklim.
3.3
Karakteristik Iklim Perkotaan
Iklim perkotaan merupakan hasil dari interaksi banyak faktor
alami dan antropogenik. Polusi udara, material permukaan perkotaan, emisi panas
anthropogenik, bersama-sama dengan faktor alam menyebabkan perbedaan iklim
antara kota dan area non perkotaan.
Iklim suatu kota dikendalikan oleh banyak faktor alam, baik
pada skala makro (seperti. Garis lintang) maupun pada skala meso (seperti
topografi, badan air). Pada kota yang tumbuh dan berkembang, faktor-faktor baru
dapat mengubah iklim lokal kota. Guna lahan, jumlah penduduk, aktivitas
industri dan transportasi, serta ukuran dan struktur kota, adalah faktor-faktor
yang terus berkembang dan mempengaruhi iklim perkotaan.
Dalam tahap awal perkembangan kota, sebagian besar lahan
merupakan ruang terbuka hijau. Namun, adanya kebutuhan ruang untuk menampung
penduduk dan aktivitasnya, ruang hijau tersebut cenderung mengalami konversi
guna lahan menjadi kawasan terbangun. Sebagian besar permukaannya, terutama di
pusat kota, tertutup oleh jalan, bangunan dan lain-lain dengan karakter yang
sangat kompleks dan berbeda dengan karakter ruang terbuka hijau.
Polusi udara yang tinggi adalah faktor lain yang menjadi
ciri kawasan perkotaan. Polusi udara perkotaan terdiri dari gas dan
partikel/unsur/butir padat yang diemisi oleh industri, transportasi, sistem
pemanas dan lain lain. Polusi udara yang teremisi, merubah komposisi atmosfir
perkotaan, menurunkan transmissivitas dan meningkatkan daya serap terhadap
radiasi matahari. Dengan kata lain, polusi udara menyerap cahaya matahari dan
visibilitas udara menurun, sehingga lebih sedikit radiasi matahari yang
menjangkau permukaan tanah.
Pada umumnya pusat kota lebih terpolusi dibanding bagian
pinggir kota, tetapi hal tersebut tergantung pada sebaran lokasi industri dan
intensitas penggunaan jalan-jalan. Pada siang hari, konsentrasi polusi udara
tertinggi cenderung terjadi pada jam-jam puncak, yaitu pada kondisi dimana arus
lalu lintas yang terjadi sangat tinggi. Dalam rentang waktu satu tahun, di
negara-negara subtropis, konsentrasi polutan tertinggi cenderung terjadi pada
waktu musim dingin ketika banyak polusi udara berbahaya dipancarkan karena
konsumsi berbagai macam bahan bakar, untuk memanaskan bangunan, dan ketika
atmosfir dalam keadaan paling stabil yang memperkecil kemungkinan udara untuk
bercampur. Namun, pada musim panas, kabut photochemical tidak jarang pula
terbentuk.
Dalam sebuah kota, evaporasi dapat berkurang secara
signifikan karena permukaan artifisial tidak menyerap air sebagaimana halnya
permukaan alami. Lebih dari itu, selama musim hujan, air mengalami run off
dengan cepat ke dalam sistem drainase kota dan permukaan di perkotaan menjadi
cepat kering. Karena air di atas permukaan tanah jumlahnya sedikit, panas yang
ada tidak digunakan untuk evaporasi, melainkan digunakan untuk memanaskan
atmosfer kota. Penting untuk disadari bahwa kondisi vegetasi di suatu daerah
atau kawasan, sangat berpengaruh terhadap suhu udara.
4.4 Perubahan Iklim Global
Perubahan iklim pada abad ini telah menjadi isu lingkungan
yang cukup penting. Berbagai penelitian dilakukan untuk dapat mengidentifikasi
berbagai penyebab terjadinya perubahan iklim. Penelitian-penelitian lainnya
mengarah pada identifikasi strategi mitigasi bencana perubahan iklim. Berbagai
perubahan dan konsekuensi yang terukur sangat diperlukan untuk dapat melakukan
respon dan adaptasi yang tepat terhadap perubahan iklim, terutama adaptasi yang
dapat dilakukan di kawasan perkotaan. Hal penting lainnya yang diperlukan
adalah eksplorasi pengetahuan mengenai bagaimana pembangunan kota-kota baru
dapat memenuhi kriteria untuk mitigasi dan tujuan-tujuan adaptasi.
5.5
Peranan Ruang Terbuka Hijau dalam Penentuan Iklim Mikro Perkotaan
Tingginya tingkat pembangunan di daerah perkotaan,
seringkali mengabaikan unsur-unsur alami seperti vegetasi. Padahal dalam
beberapa penelitian ditemukan bahwa vegetasi memiliki manfaat dan nilai untuk
mempertahankan tingkat kenyamanan udara. Dalam hal ini, sangat penting untuk mempertimbangkan
kebutuhan ruang hijau di perkotaan. Pembangunan fisik kota itu sendiri
mempengaruhi ketersediaan ruang untuk vegetasi dan distribusinya.
Hasil analisis yang dilakukan dalam beberapa penelitian
mengungkapkan adanya dampak dampak-dampak menguntungkan dari ruang hijau
perkotaan pada iklim mikro, kualitas udara, reduksi konsumsi energi pada
gedung-gedung yang berdekatan, penyimpanan karbon, dan juga memperkaya
biodiversity. Telah diakui pula bahwa terdapat keuntungan sosial ekonomi yang
dapat diperoleh dari ruang hijau perkotaan, dan kontribusinya pada perbaikan
kesehatan manusia.
Telah diketahui bagaimana perubahan iklim dapat mempengaruhi
fungsi dan struktur ruang hijau, yang mana hal tersebut pada akhirnya berdampak
pada lingkungan perkotaan. Pengetahuan mengenai hal ini menjadi penting untuk
memberikan respon terhadap pengaruh-pengaruh perubahan iklim dengan strategi
yang adaptif melalui manajemen, perancangan dan perencanaan ruang hijau
perkotaan.
Beberapa peranan ruang hijau di perkotaan yang berhubungan
dengan kualitas udara antara lain :
• Penahan dan Penyaring Partikel Padat dari Udara
• Penyerap dan Penjerap Partikel Timbal
• Penyerap dan Penjerap Debu Semen
• Peredam Kebisingan
• Mengurangi Bahaya Hujan Asam
• Penyerap Karbon-monoksida
• Penyerap Karbon-dioksida dan Penghasil Oksigen
• Penahan Angin
• Penyerap dan Penapis Bau
• Mengatasi Penggenangan
• Ameliorasi Iklim
• Penapis Cahaya Silau
• Penahan dan Penyaring Partikel Padat dari Udara
• Penyerap dan Penjerap Partikel Timbal
• Penyerap dan Penjerap Debu Semen
• Peredam Kebisingan
• Mengurangi Bahaya Hujan Asam
• Penyerap Karbon-monoksida
• Penyerap Karbon-dioksida dan Penghasil Oksigen
• Penahan Angin
• Penyerap dan Penapis Bau
• Mengatasi Penggenangan
• Ameliorasi Iklim
• Penapis Cahaya Silau
Adapun pencegahan dari iklim perkotaan tersebut antara lain adalah sistem penghijauan perkotaan.
Penghijauan perkotaan yaitu menanam tumbuh-tumbuhan sebanyak-banyaknya di halaman rumah atau di lingkungan sekitar rumah maupun dipinggir jalan, apakah itu berbentuk pohon, semak, perdu, rumput atau penutup tanah lainnya, di setiap jengkal tanah yang kosong yang ada dalam kota dan sekitarnya, sering disebut sebagai ruang terbuka hijau (RTH). RTH sangat penting, mengingat tumbuh-tumbuhan mempunyai peranan sangat penting dalam alam, yaitu dapat dikategorikan menjadi fungsi lansekap (sosial dan fisik), fungsi lingkungan (ekologi) dan fungsi estetika (keindahan).
Berdasarkan kepada fungsi utama RTH dapat dibagi menjadi:
1. Pertanian perkotaan, fungsi utamanya adalah untuk mendapatkan hasilnya untuk konsumsi yang
disebut dengan hasil pertanian kota seperti hasil hortikultura.
2. Taman kota, mempunyai fungsi utama untuk keindahan dan interaksi sosial
3. Hutan kota, mempunyai fungsi utama untuk peningkatan kualitas lingkungan.
1. Pertanian perkotaan, fungsi utamanya adalah untuk mendapatkan hasilnya untuk konsumsi yang
disebut dengan hasil pertanian kota seperti hasil hortikultura.
2. Taman kota, mempunyai fungsi utama untuk keindahan dan interaksi sosial
3. Hutan kota, mempunyai fungsi utama untuk peningkatan kualitas lingkungan.
Menurut pakar tata lingkungan
Prof. Eko Budihardjo (1997) keberadaan ruang terbuka hijau seluas kurang lebih
30 ha. yang dipenuhi pepohonan dapat menurunkan suhu lingkungan kurang lebih
2,5oC. Sementara itu Heinz Frick (2002) bahkan mengemukakan lahan dengan
tanam-tanaman seluas 1 ha. Dapat memberikan efek penurunan suhu hingga 4oC.
Dapat dimengerti bahwa lahan yang ditumbuhi pepohonan rindang memberi efek
kanopi yang menahan radiasi panas matahari sebelum mencapai objek yang
diteduhinya. Dedaunan yang berwarna hijau gelap menyerap panas radiasi matahari
yang biasanya terpantulkan oleh objek lain (Todd, 1995).
Penelitian yang dilakukan oleh
Lipsmeiter menunjukkan bahwa suhu diatas permukaan rumput bisa mencapai 5o C
lebih rendah dibandingkan suhu permukaan yang diperkeras beton, sementara Todd
(1995) menyebutkan perbedaan suhu 8o C antara permukaan tanah terbuka dengan
permukaan berumput. Diketahui pula bersama bahwa manusia hidup nyaman dalam
suhu yang sangat tertentu, berkisar antara 10o C hingga 27o C, dengan kelembaban
antara 40% – 75% (Laurie, 1994). Untuk suhu kerja, lebih terbatas lagi antara
18o C h i n g ga 25o C (Mangunwi jaya, 1980). Dengan membandingkan contoh Kota
Semarang misalnya, yang suhunya berkisar antara 27o C - 35o C (Budihardjo,
1997), atau Jakarta yang pernah mencapai 37o C dengan kelembaban 98% dapat
disimpulkan bahwa akumulasi ruang terbuka hijau yang tinggi dapat berperan
secara signifikan dalam pengontrolan suhu lingkungan yang nyaman bagi penghuni.
Referensi
http://blog.unila.ac.id/kusuma
http://www.blogger.com/favicon.ico
http://www.shvoong.com/favicon.ico
Tidak ada komentar:
Posting Komentar