1.1 Sekilas Mengenai
Arsitektur Kolonial
Bangunan kolonial adalah bangunan bercorak arsitektur kolonial yang
dimanfaatkan untuk kegiatan fungsional di zaman kolonial (Radziman,1997:4).
Ciri-ciri umum bangunan yang bersifat kolonial adalah bangunan tinggi, kokoh,
dan beratap datar untuk gedung serta atap miring untuk perumahan biasa dan memiliki
detail-detail tertentu.
Para arsitek Belanda telah berhasil memadukan asitektur Eropa, khususnya
Belanda, dengan teknologi bangunan tropis. Bangunan-bangunan tersebut tetap
memiliki gaya Eropa, namun tetap sesuai untuk iklim di daerah tropis. Hasil
keseluruhan dari asitektur kolonial Belanda di Indonesia adalah suatubentuk
khas. Kekhasan tersebut terletak pada:
-
penggunaan
gevel (gable) pada tampak depan bangunan
-
penggunaan
tower (bangunan berstruktur tinggi) pada bangunan
-
penggunaan
dormer (bukaan lain ) pada atap bangunan
Keberadaan arsitektur kolonial sudah menjadi bagian dari perkembangan dunia
arsitektur di tanah air. Arsitektur kolonial benar-benar bisa mengerti konteks
lingkungan, walaupun memang pada awal kedatangannya, arsitektur kolonial tidak
lebih dari sekedar memindahkan gaya bangunan dari Eropa ke Indonesia. Tapi
setelahnya, banyak terjadi adaptasi terhadap iklim maupun bentuk-bentuk lokal,
yang akhirnya mungkin kita lebih mengenalnya dengan arsitektur indis.
1.2 Munculnya Arsitektur
kolonial di Kota Banjarbaru
Dalam sejarahnya, kota Banjarbaru dibangun tidak hanya untuk menjadi
ibukota Kalimantan Selatan, namun menjadi ibukota Kalimantan. Pada tahun 1951,
Gubernur Kalimantan Dr.Murdjani berinisiatif memindahkan ibukota Kalimanttan ke
tempat yang ideal. Sebagai ahli kesehatan, Murdjani berkesimpulan Banjarmasin
kurang ideal sebagai pusat pemerintahan. Tanahnya yang berawa-rawa
mengakibatkan air yang menggenang sepanjang musim yang memungkinkan timbulnya
berbaagai penyakit.
Banjarmasin sebagai kota air, kota perdagangan dan kota identitas historis
orang Banjar tetap dipertahankan. Membangun ibukota Kalimantan di Banjarbaru
didasari pada pandangan pengembangan jauh ke depan. Akhinya, melalui sidang
staf dan pimpinan dibentuklaah tim kajian kelayakan. Tim dipimpin oleh D.A.W
Van der Peijl, seorang arsitek Belanda. Dalam perancangannya, planologi
Banjarbaru digarap bekerjasama dengan para pakar dari Institut Teknologi
Bandung. Peancangan Banjarbaru ini bersamaan dengan kota Palangkaraya yang kini
jadi kota modern yang tertata apik.
Namun, Banjarbaru setelah 23 tahun berstatus kota administratif, baru
mendaptkan status kotamadya. Jangankan menjadi ibukota Kalimantan, untuk
terwujud menjadi ibukota Kalsel saja tampaknya masih memerlukan waktu yang
cukup panjang.
Selanjutnya hasil rancangan Van der Piejl inilah yang pada hakikatnya
banyak membawa gaya serta langgam kolonial Belanda pada tiap rancangannya di
beberapa bangunan pemerintahan kota Banjarbaru. Inilah yang menyebabkan kota
Banjarbaru menjadi bernuansa kolonial.
1.3 Analisis Data
Tidak ada komentar:
Posting Komentar