UNSUR PERMUKIMAN
Unsur permukiman terdiri dari wadah dan isi.
Wadah berupa tanah atau lahan yang digunakan, baik berasal dari alam maupun
buatan. Sedangkan isi terdiri dari manusia yang menempati baik secara
sendiri-sendiri maupun dalam kelompok masyarakat. Untuk dapat dikatakan sebagai permukiman
kedua unsur ini harus ada, karena keduanya saling melengkapi dan berinteraksi.
Dari definisi tersebut, permukiman dapat
diartikan sebagai suatu hubungan ekologis antara masyarakat manusia
dengan lingkungannya, baik lingkungan alami maupun buatan, untuk manusia
tumbuh membangun peradabannya. Kegiatan bermukim pun berkembang pada
lingkungannya ini, kegiatan hidup, bekerja, beribadah, pendidikan, rekreasi,
dsb. Kegiatan-kegiatan ini memunculkan timbulnya fasilitas-fasilitas penunjang,
seperti sarana mobilitas, utilitas, jaringan komunikasi, peribadatan, tempat
hiburan, dsb.
Permukiman ada karena kedua unsur ini. Manusia
jika tidak menetap tidak dapat disebut membentuk permukiman. Demikian juga
alam, tidak dapat dikatakan sebagai permukiman jika tidak ada manusia sebagai
isinya. Jadi jelas manusia dan habitatnya lah yang membentuk permukiman.
Pertumbuhan
Permukiman Menjadi Kota dan Implikasinya
Tumbuhnya suatu tempat menjadi perkotaan telah
menciptakan daerah permukiman yang
demikian luas dan menyebabkan berkurangnya lahan pertanian. Kota-kota terus
memperluas batasnya dan merambah ruang-ruang terbuka sebagai upaya untuk
mendapatkan ruang untuk hidup. Daerah pinggiran kota secara terus menerus
bertambah, dan hasil pencatatan menggambarkan perubahan secara besar-besaran
dan pertumbuhan yang menakjubkan (John C. Bollens & Henry J. Schmadt).[1]
Golany 1995
menyebutkan bahwa “permukiman kemudian berkembang menjadi sebuah kota karena
kebutuhan manusia semakin berkembang, dan dalam upaya memenuhi kebutuhan
sosialnya ini maka manusia mengorganisasikan dirinya dengan alam dan manusia
lainnya sehingga tercapai sistem keteraturan yang dapat memenuhi tuntutan
kehidupannya”. [2]
Sementara menurut Mumford 1961, Sebelum kota menjadi tempat
bermukim yang tetap, tempat ini mulanya menjadi tempat pertemuan manusia yang
akan selalu kembali lagi secara periodik.
Tentu hal ini disebabkan karena keberadaan magnet utama
dalam sebuah kota yaitu tempat penyimpanan makanan. Selain sebagai tempat
penyimpanan, Kota juga merupakan tempat bertemu orang-orang untuk saling
berkomunikasi dan meningkatkan semangat. [3]
Masyarakat
kota memiliki karakteristik: kepadatan penduduk tinggi, pertumbuhan
penduduk cepat yang disebabkan baik oleh kesehatan yang
baik sehingga tingkat harapan hidup tinggi, fertilitas lebih besar dari mortalitas dan arus migrasi dari desa, masyarakat patembayan
dan individualis. Mengumpulnya
masyarakat di wilayah kota memicu berkembangnya pusat-pusat perdagangan.
Selanjutnya turut berkembang pula jasa-jasa transportasi,
komunikasi dan jasa-jasa lainnya. Dengan banyaknya warga
kota, pelayanan publik menjadi lebih berkembang dan lebih
efisien. Tidaklah mengherankan jika sekolah-sekolah yang bermutu dan pelayanan kesehatan lebih baik di perkotaan.
Tingkat
pertumbuhan penduduk kota yang selalu berubah, baik secara alami maupun
migrasi, menjadikan tingkat kepadatan penduduk semakin tinggi. Kepadatan
penduduk tinggi karena dalam luas 1 ha tanah jumlah orang semakin banyak. Pada
akhirnya timbullah permasalahan kota yang salah satunya adalah makin sempitnya
kesempatan kerja dan tingginya pencari kerja. Makin terbatasnya kesempatan
kerja dan meningkatnya tenaga kerja dari keahlian bidang pertanian ke bidang
industri, menjadikan penumpukan atau terpusatnya tenaga kerja dengan keahlian
terbatas pada satu sektor industri.
Pemusatan
kesempatan kerja dan penumpukan tenaga kerja menjadikan beban kota menjadi terpusat pada satu titik,
sehingga kembali terjadi permasalahan kota yang lain misalnya; kemacetan,
tingginya harga tanah, kesenjangan sosial yang menyolok dan lain-lain.
Pola
pertumbuhan dan perkembangan kota sangat penting dalam perencanaan kota, dengan
mengetahui pertumbuhan dan perkembangan kota perencana dapat menentukan arah
maupun memutuskan suatu perencanaan.
[1] John C. Bollens & Henry J. Schmadt, The Metropolis, 1965 dalam
Melville C. Branch, Perencanaan
Kota Komprehensif, Gadjah Mada University Press, 1996
[2] Gideon S Golany, Ethics
and Urban Design:Culture, Form and Environment. John Wiley & Sons, Inc.
New York.
1995
Referensi:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar