Selasa, 23 Februari 2016

PERENCANAAN PERUMAHAN PERMUKIMAN


UNSUR PERMUKIMAN

Unsur permukiman terdiri dari wadah dan isi. Wadah berupa tanah atau lahan yang digunakan, baik berasal dari alam maupun buatan. Sedangkan isi terdiri dari manusia yang menempati baik secara sendiri-sendiri maupun dalam kelompok masyarakat.  Untuk dapat dikatakan sebagai permukiman kedua unsur ini harus ada, karena keduanya saling melengkapi dan berinteraksi.
Dari definisi tersebut, permukiman dapat diartikan sebagai suatu hubungan ekologis antara masyarakat  manusia  dengan lingkungannya, baik lingkungan alami maupun buatan, untuk manusia tumbuh membangun peradabannya. Kegiatan bermukim pun berkembang pada lingkungannya ini, kegiatan hidup, bekerja, beribadah, pendidikan, rekreasi, dsb. Kegiatan-kegiatan ini memunculkan timbulnya fasilitas-fasilitas penunjang, seperti sarana mobilitas, utilitas, jaringan komunikasi, peribadatan, tempat hiburan, dsb.
Permukiman ada karena kedua unsur ini. Manusia jika tidak menetap tidak dapat disebut membentuk permukiman. Demikian juga alam, tidak dapat dikatakan sebagai permukiman jika tidak ada manusia sebagai isinya. Jadi jelas manusia dan habitatnya lah yang membentuk permukiman.  


Pertumbuhan Permukiman Menjadi Kota dan Implikasinya
Tumbuhnya suatu tempat menjadi perkotaan telah menciptakan  daerah permukiman yang demikian luas dan menyebabkan berkurangnya lahan pertanian. Kota-kota terus memperluas batasnya dan merambah ruang-ruang terbuka sebagai upaya untuk mendapatkan ruang untuk hidup. Daerah pinggiran kota secara terus menerus bertambah, dan hasil pencatatan menggambarkan perubahan secara besar-besaran dan pertumbuhan yang menakjubkan (John C. Bollens & Henry J. Schmadt).[1]
Golany 1995 menyebutkan bahwa “permukiman kemudian berkembang menjadi sebuah kota karena kebutuhan manusia semakin berkembang, dan dalam upaya memenuhi kebutuhan sosialnya ini maka manusia mengorganisasikan dirinya dengan alam dan manusia lainnya sehingga tercapai sistem keteraturan yang dapat memenuhi tuntutan kehidupannya”. [2]
Sementara menurut Mumford 1961, Sebelum kota menjadi tempat bermukim yang tetap, tempat ini mulanya menjadi tempat pertemuan manusia yang akan selalu kembali lagi secara periodik.  Tentu hal ini disebabkan karena keberadaan magnet utama dalam sebuah kota yaitu tempat penyimpanan makanan. Selain sebagai tempat penyimpanan, Kota juga merupakan tempat bertemu orang-orang untuk saling berkomunikasi dan meningkatkan semangat. [3]
Masyarakat kota memiliki karakteristik: kepadatan penduduk tinggi, pertumbuhan penduduk cepat yang disebabkan baik oleh kesehatan yang baik sehingga tingkat harapan hidup tinggi, fertilitas lebih besar dari mortalitas dan arus migrasi dari desa, masyarakat patembayan dan individualis. Mengumpulnya masyarakat di wilayah kota memicu berkembangnya pusat-pusat perdagangan. Selanjutnya turut berkembang pula jasa-jasa transportasi, komunikasi dan jasa-jasa lainnya. Dengan banyaknya warga kota, pelayanan publik menjadi lebih berkembang dan lebih efisien. Tidaklah mengherankan jika sekolah-sekolah yang bermutu dan pelayanan kesehatan lebih baik di perkotaan.
Tingkat pertumbuhan penduduk kota yang selalu berubah, baik secara alami maupun migrasi, menjadikan tingkat kepadatan penduduk semakin tinggi. Kepadatan penduduk tinggi karena dalam luas 1 ha tanah jumlah orang semakin banyak. Pada akhirnya timbullah permasalahan kota yang salah satunya adalah makin sempitnya kesempatan kerja dan tingginya pencari kerja. Makin terbatasnya kesempatan kerja dan meningkatnya tenaga kerja dari keahlian bidang pertanian ke bidang industri, menjadikan penumpukan atau terpusatnya tenaga kerja dengan keahlian terbatas pada satu sektor industri.
Pemusatan kesempatan kerja dan penumpukan tenaga kerja menjadikan beban kota menjadi terpusat pada satu titik, sehingga kembali terjadi permasalahan kota yang lain misalnya; kemacetan, tingginya harga tanah, kesenjangan sosial yang menyolok dan lain-lain.
Pola pertumbuhan dan perkembangan kota sangat penting dalam perencanaan kota, dengan mengetahui pertumbuhan dan perkembangan kota perencana dapat menentukan arah maupun memutuskan suatu perencanaan.


[1] John C. Bollens & Henry J. Schmadt, The Metropolis, 1965 dalam  Melville C. Branch, Perencanaan Kota Komprehensif, Gadjah Mada University Press, 1996

[2] Gideon S Golany, Ethics and Urban Design:Culture, Form and Environment. John Wiley & Sons, Inc. New York. 1995

[3] Leuwis Mumford, The City in History, New York, 1961



Referensi:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar